Setujukah Anda Benda Cagar Budaya / BCB harus tetap dilestarikan ???

Sejarah Berdirinya Purbakala Bali

Para ahli Arkeologi di Indonesia mempunyai asumsi bahwa kawasan antara Desa Bedulu-Tampaksiring merupakan pusat Kerajaan Bali Kuna. Dugaan ini didukung oleh sumber data tertulis berupa prasasti dan berbagai tinggalan arkeologi. Demikian pula dari sumber-sumber tertulis tradisional baik dalam usana Bali / Jawa maupun kitab-kitab babad.
Adapun benda cagar budaya yang terdapat di antara Tampaksiring dan Bedulu adalah : Candi Pegulingan, Tirta Empul, Candi Mengening, Candi dan Ceruk Gunung Kawi, Candi dan Ceruk Pengukur-ukuran, Pura Pusering Jagat, Pura Penataran Sasih, Pura Kebo Edan, Arjuna Metapa, Goa Gajah dan Petirtaan, Relief Yeh Pulu, Candi Tebing Tegallinggah, dan sebagainya.
Berdasarkan potensi arkeologisnya, maka dipilihlah Desa Bedulu sebagai lokasi dari Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali (BP3 Bali).

Random Image

SITUS CANDI BUDDHA KALIBUKBUK, BULELENG

Situs Candi Buddha ini terletak di Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, merupakan salah satu bukti perkembangan Agama Budhha di Bali bagian Utara. Kompleks Candi Kalibukbuk merupakan bangunan yang berlatar Agama Buddha yang pendiriannya dikaitkan dengan kepentingan ibadah agama yang bersangkutan. Sebagai sebuah bangunan keagamaan Candi Kalibukbuk berorientasi pada kosmos (matahari,bulan,bintang) dan orientasi lingkungan yang dikaitkan dengan bumi serta segala gejala-gejala seperti gunung, laut, sungai dan sebagainya. Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa di situs Kalibukbuk merupakan komplek percandian Agama Budhha yang terdiri atas tiga bangunan, yaitu candi induk berbentuk persegi delapan (oktagonal) dan candi perwara (bujur sangkar) yang berada disebelah barat dan timur candi induk. Di Situs ini ditemukan pula beberapa stupika,serta materai tanah liat.

Tirtha Empul

Komplek Pura ini dapat dibagi menjadi tiga halaman : jaba, jaba tengah, dan jeroan. Di halaman jaba terdapat petirtaan dan taman, di jaba tengah terdapat petirtaan dengan 12 jaladwara yang masing-masing mempunyai bentuk berbeda. Di bagian jeroan terdapat tepasana sebagai altar khusus dan bebrapa pelinggih tempat pemujaan. Dalam prasasti yang disimpan di Pura Sakenan, Manukaya, Tampaksiring, dikeluarkan oleh raja Indrajayasingha Warmadewa (962 Masehi) disebutkan Tirtha Empul sebagai “ tirta ri air hampul ” yang berarti tirtha di air mengepul. Maksudnya, tirtha yang keluar dari dalam tanah, kemudian tirtha hampul lambat laun berubah menjadi Tirtha Empul. Sedangkan dalam lontar Usana Bali diuraikan bahwa Tirtha Empul diciptakan oleh Bhatara Indra dalam kaitan kemenangannya melawan raja Mayadenawa yang melarang rakyat Bali melaksanakan upacara pemujaan.

Prasada Mengening

Pura ini terdiri dari dua halaman, yang disusun sesuai dengan kondisi bentang lahan yang ditempati. Halaman luar atau jaba berada agak di lembah dengan beberapa pelinggih dan tempat permandian. Bagian jeroan terletak di bagian yang tinggi di tebing sungai. Di sini terdapat bagunan Prasada Agung dan beberapa pelinggih. Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Anak Wungsu (1023 Masehi) disebutkan tentang kedua orang tuanya yang telah almarhum bahwa “ Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah I Burwan Bhatara Lumah i Banu Wka ” . Berdasarkan prasasti ini diketahui bahwa Gunapriya Dharmapatni dicandikan di Burwan, sedangkan Udayana dicandikan di Banu Wka. Daerah Burwan berada di desa Kutri, Blahbatuh sedangkan Banu Wka sampe saat ini belum diketahui secara pasti tempatnya. Ada perkiraan Banu Wka diidentifikasikan dengan Tirha Mengening, Banu artinya air (Tirtha), Wka artinya anak, cening yang berubah menjadi Mengening. Tirtha Mengening terletak di sebelah selatan Tirtha Empul, berdiri sebuah Prasada menyerupai pedarman bagi seorang raja yang telah wafat.

Candi Tebing Gunung Kawi

Kompleks candi tebing Gunung Kawi terletak di kedua sisi Sungai Pekerisan dengan luas sekitar empat hektar. Ada sembilan gugus candi, masing-masing lima di sisi timur dan empat di sisi barat. Di beberapa bagian gugusan biasanya terdapat juga ruang-ruang untuk meditasi. Dalam prasasti Tangkulak A tahun 1023 Masehi yang dikeluarkan oleh raja Marakata komplek percandian yang terletak di di tepi Sungai Pekerisan ini bernama Katyagan Amarawati. Pada dinding candi terdapat huruf Kadiri Kwadrat berbahasa Jawa kuno yang berbunyi “ haji lumah ing jalu ” yang artinya raja yang didharmakan (dicandikan) di jalu. Jalu berarti senjata, tajam, keris. berdasarkan prasasti tersebut diinterpretasikan bahwa candi Gunung Kawi dibangun sebagai tempat didharmakannya raja Udayana. Pembangunan komplek percandian ini dilanjutkan pada saat pemerintahan raja Anak Wungsu (1049-1072 Masehi)

Candi Tebing Tegallinggah


Candi Tebing Tegallinggah terdiri dari beberapa gugusan candi yang dipahatkan pada dua sisi tebing Sungai Pekerisan. Salah satu bangunan berupa gapura yang telah runtuh di sisi tebing selatan, tiga bentuk pahatan candi, dan sembilan relung, masing-masing dua di sisi timur dan tujuh di sisi barat, serta petirtaan. Sungai Pekerisan membelah percandian ini hanya beberapa meter di depan bangunan-bangunan yang ada. Di atas candi tebing terdapat tiga lingga yang masing-masing mewakili tiga dewa utama Brahma, Wisnu, dan Siwa. Keberadaan unsur air menunjukkan adanya konsep tirtha sebagai salah satu aspek alam dari Tri Hita Karana. Aspek lain dari konsep kosmologi ini ada pada relung meditasi sebagai tempat untuk mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Bentuk bangunan seperti ini menyerupai bangunan lain yang terdapat di sepanjang DAS Pekerisan, diperkirakan berasal dari abad ke-12 Masehi.

Goa Gajah


Pura Goa Gajah berada di lembah Sungai Petanu. Kompleks ini terdiri dari dua gugus, yaitu Goa Gajah dan petirtaan di depannya yang berlatar agama Hindu, serta kelompok stupa dan relung meditasi yang berciri agama Budha. Goa Gajah yang merupakan relung dengan ruang berbentuk huruf “T” adalah bangunan kuno. Di dalamnya terdapat tiga lingga di sisi timur dan di bagian ruang lain ada fragmen patung yang sulit diidentifikasikan. Sekeliling ambang pintu masuk dipahat bentuk Kala besar dengan hiasan-hiasan lengkung sepiral yang amat raya. Sekitar 25 m di depan gua terdapat petirtaan berukuran 6 x12 m. pertirtaan terdiri atas dua bagian, di setiap bagian terdapat tiga patung pancuran berbentuk figur dewata, satu laki-laki diapit dengan dua wanita. Adanya unsur-unsur tirta mencerminkan konsep Tri Hita Karana, terutama hubungan antara manusia dengan alam (pelemahan). Beberapa bentuk stupa dan relung meditasi dipahatkan pada dinding-dinding terjal di arah hilir sungai. stupa yang berukuran besar telah runtuh dan sulit direkontruksi, namun masih terlihat bagian-baginnya berupa catra, yesti, harmika, dan andha. Ada bekas-bekas relief yang menunjukkan figur Dhayni Budha. Berdasarkan bukti-bukti peninggalan arca ini diduga Goa Gajah merupakan pusat kegiatan Agama Budha pada abad ke -8 Masehi. Sedangkan tulisan yang berbunyi “ kumon ” yang terdapat pada pintu masuk goa merupakan tipe tulisan yang umum dipakai pada masa kerajaan Kediri di Jawa Timur, diduga berasal dari abad ke-11. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada pertengahan abad ke-11 Goa gajah merupakan pusat kegiatan agama Siwa.

Inventarisasi Situs Trunyan

Situs Pura Pancering Jagat desa Trunyan terletak di wilayah Dusun Trunyan, Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Tepatnya pada koordinat 90, 87’,55” Bujur Timur dan 50,03’,26” Lintang Selatan. Ketinggian situs 1027 meter di atas permukaan laut. Berjarak tempuh 33 km dari ibu kota Bangli. Desa ini merupakan salah satu desa kuna yang terletak di tepian danau Batur, berpenduduk cukup padat dengan kondisi alam yang berbukit terjal mengharuskan penduduk mengolah alam ini dengan menekuni profesi sebagai petani peladang dan nelayan.

Pada tanggal 7 Maret 2007 terjadilah bencana yang mengakibatkan hancurnya 20 buah pelinggih, akibat robohnya pohon beringin besar di Pura Pancering Jagat desa Trunyan. Adapun pelinggih-pelinggih yang hancur tersebut terletak pada halaman dalam (jeroan) pada kompleks Penaleman Jeroan, kompleks Pelinggih Kepasekan dan kompleks Pelinggih Gunung Agung. Bangunan utama berupa meru sebagai pelinggih Bhatara Da Tonta juga mengalamai kerusakan yang cukup berat. Sedangkan arca Bhatara Da Tonta sendiri tidak mengalami kerusakan yang berarti. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat desa Trunyan.

Berkaitan dengan peristiwa ini Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali NTB dan NTT (BP3 Bali) mengunjungi desa Trunyan untuk mengadakan penelitian dan inventarisasi terhadap benda tinggalan arkeologi yang ada di pura ini. bencana. Inventarisasi terhadap beberapa benda cagar budaya dari BP3 Bali saat ini merupakan inventarisasi awal. Karena keterbatasan tenaga, waktu dan dana maka inventarisasi baru akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya. Inventarisasi yang dapat lakukan hanya pada 16 buah benda cagar budaya (BCB). Adapaun BCB tersebut antara lain : Arca Perwujudan Bhatara Datonta I dan II, batu pipis, sejumlah fragmen arca, fragmen bangunan bermotif naga yang merupakan bagian dari bangunan meru pelinggih Bhatara Da Tonta, dan beberapa buah batu alam dari tradisi megalitik. Masih banyak BCB yang belum terinventaris dan mendapat tindakan penyelamatan lebih lanjut dari BP3 Bali. Hal ini terkait dengan sangat sakralnya keberadaan BCB tersebut.

STUDY TEKNIS PURA PENATARAN YEH SANTHI TENGANAN PEGRINGSINGAN KARANGASEM

STUDY TEKNIS PURA PENATARAN YEH SANTHI TENGANAN PEGRINGSINGAN KARANGASEM

Desa Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa kuno di Bali. Menyimpan cukup banyak tinggalan arkeologi dari berapa periodenisasi masa, terutama peninggalan dari masa megalitikum. Salah satu yang mendapat perhatian dari tinggalan yang ada adalah tinggalan di Pura Penataran Yeh Santhi. Pura ini secara administratif terletak di desa Adat Tenganan Pegringsingan, Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem .
Peninggalan arkeologi yang terdapat di Pura Penataran Yeh Santhi sebagian besar berbentuk tahta batu dari susunan batu-batu kali dengan mempergunakan perekat tanah. Tahta batu ini berbentuk segi empat. Disamping itu terdapat pula struktur bangunan yang berbahan batu bata merah (citakan) yang digunakan sebagai dinding. Dari struktur pura, Pura Penataran Yeh Santhi dibagi menjadi tiga bagian, Tri Mandala yaitu: utamaning mandala, mandya mandala, dan nista mandala. Di daerah utamaning mandala terdapat tujuh buah pelinggih berbentuk tahta batu dipergunakan sebagai tempat pemujaan antara lain ; Pelinggih Tambunan, Pelinggih Gunung Agung dan bebera pelinggih yang tidak diketahui namanya. Diareal madya madala terdapat beberapa bangunan yang disebut dengan Kayehan Dedari, Pelinggih Pugelan, Pelinggih Gedong Sari dan satu bangunan yang berbentuk tahta batu yang tidak diketahui namanya. Bangunan yang cukup unik adalah bangunan yang disebut sebagai Kayehan Dedari, bangunan ini merupakan tempat petirthaan yang lokasinya lebih tinggi dari pelinggih yang lain sehingga untuk mencapai tempat ini harus melalui sebuah tangga yang terbuat dari tumpukan batu pada. Pada areal nista mandala terdapat tiga buah bangunan berupa Parerean, Pagedongan dan bale Mamiut.

Beberapa buah bangunan di Pura Penataran Yeh Santhi ini mengalami kerusakan yang cukup berarti, lebih-lebih karena pura ini berada di bawah pohon beringin yang sangat besar. Kerusakan pada situs ini lebih banyak disebabkan karena pengaruh alam seperti curah hujan yang tinggi, ancaman akar-akar pohon dan tanah longsor. Kerusakan yang terjadi pada bangunan Pelinggih Parerean yang berupa tahta batu seperti melesak, bergeser, amblas dan beberapa buah batunya telah lepas dari posisi semula. Begitu pula halnya dengan bangunan Bale Mamiyut, kebocoran dan lapuk telah terjadi pada beberapa bagian bangunan ini. Bahkan Pelinggih Pugelan yang juga berupa tahta batu mengalami kerusakan total sehingga perlu diperbaiki untuk dapat kembali seperti semula.

Melihat kondisi Pura Penataran Yeh Santhi yang mengalami kerusakan-kerusakan pada beberapa bengunannya Balai Pelestarain Peninggalan Purbakala Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB dan NTT melaksanakan kegiatan studi teknis ke pura ini. Studi teknis yang dilaksanakan pada tanggal 5 Juni 2007 hingga 11 Juni 2007 ini dipimpin oleh Ida Bagus Ngurah Supernata BA, telah melaksanakan kegiatan berupa penggambaran denah pura, penggambaran BCB, dan menyusun gambar perencanaan perbaikan.

Konservasi Pura Bukit Sangmong Dawan Klungkung

Konservasi Pura Bukit Sangmong Dawan Klungkung

Pura Bukit Sangmong merupakan salah satu pura yang terdapat di Kabupaten Klungkung. Secara administratif terletak di dusun Dawan Kelod, Desa Dawan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Pura ini disungsung oleh krama (sekelompok masyarakat) Subak Dawan. Pura ini banyak menyimpan tinggalan arkeologi, dalam bentuk arca dan sejumlah fragmen bangunan. Situs ini berada di tempat ketinggian yang dikelilingi oleh persawahan, jauh dari pemukiman penduduk. Kondisi ini menyebabkan perhatian masyarakat terhadap situs dan BCB yang tersimpan di pura ini sangat kurang, sahingga menyebabkan situs kurang terjaga kelestariannya. Untuk mengantisipasi dampak negatif dari kondisi tersebut di atas maka perlu diupayakan langkah-langkah dalam rangka perlindungan dan pelestarian situs dan BCB dimaksud. Untuk itu pada tahun 2006 telah dilaksanakan kegiatan konseervasi sebagai langkah antisipasi dalam rangka penyelamatan dan pemeliharaan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh sebuah tim teknis dari Balai Pelestarain Peninggalan Purbakala Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB dan NTT selama empat hari dari tanggal 5 sampai 8 Juni 2006, yang dipimpin oleh Drs I Putu Renjana.
BCB yang terdapat di Pura Bukit Samong terdapat pada dua lokasi, yaitu pada balai Pelinggih Arca dan di atas tanah bagian depan dari Pelinggih Arca. BCB ini belum pernah mendapat perawatan dan pemeliharaan baik dari segi kebersihan maupun akibat dari adanya pelapukan fisis, kerusakan mekanis, kerusakan khemis maupun boitis. Kondisi ini juga diperparah oleh sistem penyimpanan dimana sebagian BCB yang diletakkan langsung di atas tanah mengalami kerusakan yang cukup mengkhawatirkan, karena pada musim hujan kondisi kelembabannya cukup tinggi disamping akibat kapilerisasi air sehingga memascu tumbuhnya jasad-jasad renik jenis moss, algae dan lichen yang merupakan agensia pelapuk dari BCB tersebut.

Menindaklanjuti dari kegiatan konservasi ini perlu adanya peningkatan pemeliharaan secara periodik pada BCB, perlu adanya penataan lingkungan seperti penataan pepohonan yang ada di sekitar pura. Adanya pemagaran atau pembuatan tembok keliling keamanan situs dan pembuatan balai pelindung untuk arca-arca yang masih berada di halaman terbuka.